Cerpen Dloen- Dompet yang Hilang dan Anak yang Malang

“Bang, beli minumnya dong!”
“apa?”
alun menunjuk minuman yang dimaksud. Lalu, dia merogoh tasnya, tetapi tiba-tiba wajahnya mendadak pucat. Dompetnya hilang. Pedagang asongan yang lama menunggu, akhirnya kesal juga. Dia ambil kembali minumannya sambil mengomel.
“Kalau nggak punya uang, jangan belagu! Tampang aja kayak orang kaya!”
Kalau saja tidak malu, ingin sekali alun menjitak tukang dagang itu. Namun, dia lebih mengkhawatirkan dompetnya yang berisi surat kendaran, seperti SIM, KTP, kartu pelajar, dan surat-surat penting lainnya. Cepat-cepat, dia menuju parkir motor. Mungkin, terjatuh dan masih ada di dekat motor, dia berharap-harap cemas.
Alun bolak-balik memeriksa tasnya, barangkali dompet itu kesingklep. Namun, tetap dompet itu tetap tidak ditemukan. Sambil duduk di atas motor dan menerawang ke arah hilir mudik orang, alun merenungi nasibnya yang sial.
Alun berfikir, apakah ini adalah teguran dari Tuhan-Nya karena ia melalaikan sesemanya, dan enggan untuk menolong. Alun menyesal, telah membentak anak kecil beberapa menit yang lalu, alun menyesal karena kasar dan merasa paling punya. Sekali lagi alun menyesal.
Alun mengambil sapu tangan dari dalam tasnya, alun yakin beberapa saat lagi air matanya akan tumpah membanjiri wajahnya yang pucat, alun merasa bodoh sekarang setelah beberapa orang melihatnya heran sambil memincingkan mata. Alun tak tau akan berkata apa nanti ketika adiknya sampai diterminal dan memintanya untuk membelikannya sepatu baru.
Sebelum alun menerawang lebih jauh lagi tentang hilangnya dompet dalam tasnya, tiba-tiba saja anak kecil kurus dan dekil itu datang lagi dihadapannya. Ya, anak kecil penjual gorengan tadi. Anak kecil yang beberapa saat yang lalu dibentaknya.
“Kak,” panggil anak kecil itu seraya mengulurkan dompet warna unggu, ya itu memang dompet alun, dompet alun yang hilang.
Saking senang dompetnya kembali, alunsampai lupa untuk mengucapkan terimakasih, alun pun sampai tidak melihat kapan anak itu pergi dari hadapannya. Diperiksanya dompet itu, ternyata uang dan isinya masih utuh. Seketika, muncul perasaan menyesal. Dia sedih karena kalau bukan karena kejujuran anak itu, belum tentu dompetnya bisa kembali.
“ kak, dipanggil-panggil kok diam aja, ngelamunin apa sih?” tanya sosok kecil itu tiba-tiba saja mengejutkan.
“ ibnu, kapan sampai” ucap alun balik tanya, melihat adik kesayangannya yang tiba-tiba saja berdiri tegak tepat disampingnya.
“ aduh, kakak. Makanya jangan ngelamun terus dong, apalagi diterminal kayak gini” ucap ibnu sambil menggoda.
“ iya dek, tadi soale dompet kakak sempet hilang” ucap alun akhirnya, jujur.
“ apa? Hilang? Kok bisa?”
“ iya, tapi sekarang sudah ketemu”
“ ada yang hilang kak? Gimana sih ceritanya?” tanya ibnu penasaran
“ nanti aja ya sayang ceritanya, low sudah sampai rumah!”
“ aduh gak asyik nih kak alun. Tapi gak apa-apa. Asal sekarang belikan ibnu sepatu kalau tidak tas ya kak….WAJIB loh ya?” pintanya sambil memeluk alun erat.
“ ok, yuk” ajak alun akhirnya menutup perbincangan keduanya diterminal cirebon, dan berlalu melaju motornya kencang menuju pasar grosir cirebon dikota.
Alun memakir motornya hati-hati, dan ia sempatkan lagi mengecek keberadaan dompetnya ditas sebelum akhirnya menuju kesalah satu ruko tas dan sepatu disekitar itu, aman. Alun tenang melangkah sambil mengiyakan adiknya ketika tiba-tiba saja sudah meraih satu tas ransel EXSPORT.
“ berapa bang harganya” tanya alun pada pedagang itu.
“ 220 ribu saja mba”
“ boleh di tawar?”
“ ah, mba ini, itu harga murah mba, untuk barang sebagus ini” ucap abang penjual itu.
Sebelum akhirnya mengiyakan tawaran abang penjual tas alun melirik beberapa tas yang lain. Alun jadi teringan anak kecil yang menyelamatkan nya tadi, anak kecil yang baik hati dan jujur, yang telah mengemalikan dompetnya barusan. Ya, alun akhirnya mantap untuk membelikannya tas yang sama seperti ibnu, adiknya.
“ gimana mba? Jadi tidak?” tanya abang itu, mengagetkan alun.
“ iya bang jadi, aku ambil dua ya barangnya, tapi 400 ribu saja, gimana?” pinta alun
“ ok, saya bungkuskan mba” ucap abang itu mengiyakan.
Alun menatap wajah adiknya yang menatap heran kearahnya.
“ ibnu heran ya, kakak beli tasnya dua”
ibnu hanya mengangguk.
“ mau kakak kasihkan sama anak yang tadi sudah mengembalikan dompet kakak”
“ owgh” ucap ibnu akhirnya mengerti.
Setelah beberapa saat kemudian, setelah alun akhirnya menerima barang yang dibelinya, dan membayarnya, alun bergegas berniat balik kemotornya dan putar alur balik terminal. Tapi tiba-tiba saja….
“ kak, sepatunya kan belum beli” ucap ibnu mengingatkan alun, kalau saat ini dia sedanga bersama adiknya.
“ hmmm, gimana low lain kali aja ya sayang, sekarang kita keterminal lagi dulu ya” rayu alun akhirnya.
Ibnu mengangguk pelan, dan alun tau yang sebenarnya terjadi. Alun mengerti dengan melihat wajah adiknya yang layu itu, alun tau kalau adiknya saat ini tentu kecewa berat terhadap keputusannya. Tapi, alun juga tidak bisa menunggu lama lagi untuk secepatnya mengucapkan terimakasih pada anak itu.
Alun melaju motornya lebih kecang lagi, tidak seperti biasanya. Alun tak menghiraukan teriakan ketakutan adiknya, alun hanya berfikir agar secepatnya sampai. Dan sampai pada akhirnya alun tak bisa mengelak lagi ketika tiba-tiba saja ada kendaraan bermotor yang menyebrang, alun banting setir dan tak terjatuh…..
alun merasakan kakinya yang nyeri, aun melihat beberapa goresan pada bagian itu. Tapi sesaat alun lupakan karena melihat adiknya yang menangis kencang, alun memeluknya. Dengan perasaan menyesal dan bersalah.
Setelah motor alun berhasil diberdirikan, dengan beberapa orang yang sempat menolongnya tadi. Akhirnya alun paksakan untuk melanjutkan perjalanannya lagi, ya masih sama untuk menemui anak itu.
“ jangan kenceng-kenceng lagi ya kak” pinta ibnu memelas kearah alun, sebelum motor alun hidupkan.
“ iya sayang, maapkan kakak ya”
………………………….
setelah sampai diterminal, alun bergegas mencari anak kecil itu, tapi wajah si anak seperti ketakutan.
“Terima kasih ya, kamu sudah mengembalikan dompetku. Ini buat kamu”.
Anak kecil itu tampak canggung.
Kasihan, pasti dia merasa ketakutan, gumam alun dalam hati.
“Saya udah nggak sekolah lagi, Kak.”
alun mengernyitkan alis.
“Lho, kenapa?”
“Saya enggak punya siapa-siapa. Ibu sudah meninggal, sedangkan Bapak sejak lama meninggalkan saya. Sampai sekarang, saya belum sekolah.”
alun terdiam. Hatinya merasa iba. Anak itu tak seberuntung alun dan adiknya. Tanpa banyak bertanya lagi alun pamit pulang, dalam hatinya hanya berkata “ anak yang malang”.

Published by dloen

Aku Fadlun, Anak pertama dari 4 bersaudara, kelahiran Indramayu, 19 Juni 1992. punya cita- cita dan mimpi menjadi orang hebat. menempuh pendidikan kuliyah di UIN Walisongo Semarang, besar harapan bisa mengubah perekonomian keluarganya di masa depan.